Pada zaman dahulu sekitar tahun 1900an. Ketika itu, Pulang Pisau masih berbentuk kampung-kampung kecil yang tidak banyak berpenghuni dan seramai sekarang. Menurut kisah di sekitar wilayah Anjir dan Pulang Pisau, hiduplah Bunu dan istrinya Simei. Keduanya baru saja menikah, dan seperti biasa Simei pun hidup mengikuti Bunu yang saat itu berhuma (berladang.red) padi gunung di sungai Buluh daerah Kalawa.
Tidak seperti kebanyakan petani yang hanya datang seminggu sekali ke sungai buluh untuk menggarap lahan ladangnya, Bunu dan simei jutsru lebih memilih untuk tinggal dala pondokan yang merek buat. Bunu beralasan untuk memilih jarang pulang kedesa. Berhuma pada masa itu tidak seperti sekarang, kondisi air pasang yang hanya datang dua hari sekali membuat sungai buluh seringkali dangkal dan susah dilalui jukung ( perahu.red).
Tidak terasa, hari itu sudah bulan ke lima Bunu dan Simei tinggal di ladang. Ketika itu pula Simei tengah hamil dan memasuki masa kandungan bulan ketiga. Layaknya bawaan orang hamil, Simei hari mengidam ingin makan daging kelapa muda. Padahal disungai buluh sama sekali tidak ada tanaman kelapa.
“Suamiku Bunu, bawaan anak diperut ini ingin sekali makan daging kelapa muda. Bisakah kanda Pulang ke kampung dan mengambilkannya barang 1-2 biji,” Ujar Simei pada Bunu yang sore itu baru saja pulang dari menebas rumput di ladang.
“Hari sudah sore istriku. air sedang surut, lagipula Kalau aku pulang kasian kamu sendiri disini,”
“Tidak apa-apa suamiku, kan dihutan ini kita sudah biasa tinggal. Saya takut kalau ini bawaan anak kita, kalau tidak kita penuhi nanti malah jadi pertanda buruk,” ujar Simei kembali membujuk, bahkan kali ini ia sambil memasang muka memelas.
Melihat ekpresi dari Simei, Bunu pun tidak tega hingga akhirnya menuruti kemauan istrinya. Maka disiapkanlah Mandau dan lontong ( keranjang.red) di punggungnya sebelum berangkat iapun berpesan pada istrinya agar mengunci rapat-rapat pintu serta memadamkan semua lampu pondok.
“Kalau ada yang mengetuk pintu depan jangan sesekali dibuka. Saya hanya akan datang lewat pintu belakang nanti,” begitu pesan Bunu pada istrinya Simei.
Hari sudah gelap Bunu mulai berjalan kaki pulang menuju kampung tempat orang tuanya, tinggal. Kampung Bunu saat itu berada di wilayah Anjir Pulang Pisau. Jika berjalan kaki, biasanya hanya memerlukan 3 jam perjalanan. Namun karena kali ini ia berangkat sudah senja dan lagi untuk menyebrang dari kalawa ke Pulang Pisau juga tidak secepat disiang hari, maka menjelang malam barulah ia sampai di rumah orang tuanya.
“Saya minta buah kelapa muda ya bu. Untuk Simei, dia lagi mengidam ingin makan daging kelapa muda,” ucap Bunu pada ibunya yang saat itu kaget atas kedatangannya malam-malam.
Ibunya pun mencoba beberapa kali mengingatkan Bunu agar memetik kelapa ditunda hingga besok pagi. Karena memanjat dalam disuasana gelap tentu berbahaya, apalagi baru saja hujan tentu pohon kelapa menjadi licin. Namun sia-sia saja bujukan sang ibu, Bunu tetap memaksakan diri dan mulai memanjat kelapa dibelakang rumah orang tuanya yang ada dipinggiran sungai Anjir saat ini.
Saran orang tuanya untuk bermalam dan memetik kelapa keesokan harinya tidak diikuti Bunu. Ia lebih memikirkan istrinya yang sedang menunggu dipondok sana. Bagi Bunu, pria dayak ini apapun akan dilakukan untuk istri dan calon anak yang ada diperut isterinya.Mandau terselip dipinggang dan kepala diikat lawung merah, kini Bunu sudah berada diujung pohon kelapa.
“BUUUK..!! Kelapa pertama berhasil dipetik.
“BUUUKK..” Bunyi suara kelapa kedua.
“Akkkhhhh..Buukk,” terdengar suara dentuman kelapa ketiga namun kali ini diikuti teriakan. Rupanya bunyi tersebut adalah suara hempasan tubuh Bunu yang jatuh dari puncak pohon dan menghantam Tanah. Ia sempat mengerang kesakitan dan seketika itu juga bunu akhirnya meninggal.
Malam itu gemparlah penduduk kampung, seisi keluarga berduka, satu-persatu orang Anjir, mandomai dan warga bereng mulai melayat ke kediaman orang tua Bunu. Semasa hidupnya, Bunu memang dikenal baik, ia seringkali membagi-bagikan ikan saat musim panen ikan datang. Apalagi waktu muda Bunu juga punya kemampuan berburu yang bagus, sehingga memiliki banyak teman.
Mayat Bunu saat itu dibaringkan diruang tengah, terbujur kaku dan ditutupi kain putih. Suasana semakin malam semakin ramai.
“Hari sudah malam, lagipula air sungai sedang surut. Biar besok, pagi-pagi saja kita kabarkan isterinya,” begitulah hasil keputusan orang tua Bunu malam itu.
Ditempat lain, jauh dipondokan di sungai Buluh, Simei sang istri ternyata merasa begitu gelisah, ia bahkan tidak bisa tidur malam itu. Dalam suasana gelap, meski berbaring namun ia beberapa kali membolak-balikan badannya, perasaannya mengaduk tidak karuan.
“Tok..tok..,” tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari arah depan. Simei menajamkan pendengaran, kali ini ketukan semakin nyaring. Simei perlahan-lahan mengendap dibalik pintu. Ia mengintip melalui celah kecil. Ketukan itu berulang-ulang dan semakin keras saja
” Siapa itu. Kau kah itu suamiku,” tanya Simei, ketika melihat rupa yang ada dibalik pintu itu adalah suaminya.
“Iyaa isteriku. Cepat buka pintu ada hal penting yang mau aku sampaikan,” kata laki-laki yang menyerupai Bunu dari balik pintu.
Simei merasa yakin itu suaminya dan kemudian membuka pintu. Simei sedikit heran ketika melihat wajah suaminya terlihat lebih pucat dari biasanya. Ia lupa dan mengabaikan pesan suaminya, yang berpesan jika hanya akan datang dari pintu belakang.
“Mana kelapanya suamiku. kenapa tidak dibawa,” ujar Simei saat melihat tidak ada kelapa yang dibawa.
“Kelapanya nanti saja, malam ini kita harus pulang kekampung istriku. Ada acara penting dirumah bapa-ibu. Kemasi barang-barangmu, malam ini kita berangkat,” kata Bunu datar.
Setelah diucapkan berulang-berulang, akhirnya Simei mau menuruti. Sebentar mengemasi barang, keduanya mulai berjalan kaki menuju kampung. Atas perintah Bunu, simei diminta berjalan didepan sementara ia mengikuti dari belakang.
Sepanjang perjalanan, Bunu tidak banyak bicara. Hanya Simei yang beberapa kali mengajak bicara dan melemparkan pertanyaan, tapi toh tidak dijawab. Meki merasa tidak tanggapi, namun saat simei mengaku keletihan berjalan, Bunu dengan bahasa kakunya justru mempersilahkan istrinya untuk singgah beristirahat barang sebentar lalu kemudian melanjutkan perjalanan lagi, hingga beberapa kali mereka bergenti.
Hari semakin larut, hingga tiba-tiba saja malam itu bulan purnama terlihat. Suasana yang tadinya gelap kini berangsur perlahan menjadi terang. Kedunya semakin leluasa melanjutkan perjalanan dibawah cahaya bulan purnama. Anehnya, seiring terjadinya bulan Purnama Bunu yang berjalan menguntit isrinya mulai bernyanyi kecil, suara begitu datar menembangkan lagu yang membuat bulu roma berdiri.
“Terang Bulan terangku mati, anja berjalan suami isteri,” begitulah lagu pendek yang diulang-ulang dinyanyikan bunu.
“Akh, jangan menyanyikan itu suamiku. Aku jadi takuut, yang lain saja,” pinta istrinya sambil sesekali melihat kebelakang.
Wajar saja, Simei menjadi takut, “Anja” dalam bahasa orang dayak itu adalah roh. Roh orang yang sudah mati. Meski beberapa kali minta berhenti, namun Bunu tetap saja menyanyikan lagu itu berulang-ulang. Hingga akhirnya Simei hanya bisa diam dan sesekali menoleh kebelakang kea rah suaminya.
Tidak terasa, keduanya sampai dimuara kalawa, setelah meminjam perahu orang disitu, Bunu dan Simei mulai menyebrangi sungai kahayan. lagi-lagi sambil mengayuh perahu, Bunu masih tetap saja menyanyikan lagu seperti tadi.
“Kita sudah sampai, nanti istriku masuk lewat pintu belakang saja. Biar aku masuk lewat pintu depan,” kata bunu pendek saat keduanya mulai memasuki kampung.
“Dirumah ada acara, tidak baik kamu lewat depan. Banyak orang,” lanjut Bunu yang seperti mengerahui akan rasa penasaran isterinya perintahnya. Kali ini simei pun menggeleng menuruti.
Hingga tepat saat keduanya berada didekat rumah orang tua Bunu. Keduanya mulai berpisah, sebelum pamit. Bunu sempat memegang kepala istirinya dan mengelus-elus perut wanita yang tengah mengandung anak pertamanya itu.
Simei mulai berjalan ke arah belakang rumah, ia melihat rumah kecil itu begitu ramai seperti ada hajatan besar saja. semakin dekat ia melihat puluhan obor dinyalakan didepan rumah dan sesekali terlihat lalu lalang manusia.
“Haaah, simeii. Sama siapa kamu kesini,” ujar nyai Kambang, ibu Bunu yang terkejut melihat kedatangan menantunya itu.
“Sama Bunu, ibu. Tadi kita pulang karena ada acara disini katanya,” jawab Simei sambil keheranan saat melihat begitu banyak ibu-ibu yang berkumpul di rumah malam itu.
Semuanya terdiam dan saling berpandangan mendengar jawaban Simei. Saat itu juga, dengan raut muka sedih Nyai kambang membawa Simei menuju kamar tempat mayat Bunu diletakan. Dengan masih keheranan, Simei mengikuti disamping mertuanya.
“Silahkan kamu buka kainnya,” kata Nyai kambang meminta Simei menyingkap kain putih yang terbentang seperti menutupi sesuatu. Sambil masih diliputi keheranan, Simei perlahan menyingkap kain putih itu. Seketika itu, ia mendadak pingsan tidak sadarkan diri.
( Kisah ini ini diceritakan kakek Almarhum Ustman, mantan Ketua Handel Sungai Buluh I di era 1980an ditulis kembali oleh Dedi Sanjaya dan dipublikasikan TRANS HAPAKAT. Cerita ini masih sering didengar dari warga di Kelurahan Kalawa, khususnya mereka yang memiliki hubungan dengan Sungai Buluh )